Minggu, 06 Juli 2014

Shouldn't be Together by ASk

Haaaai Guys, ini cerpen gue. Nggak yakin bagus apa enggak sih, karena gue bukan penulis. Tapi berusaha buat jadi penulis. Meski mustahil. Agak sedih mau ngepostnya, karena berkali-kali nulis karya gue nggak ada yang bener ehhe...

Tapi ini judulnya Shouldn't Together. Gue tertarik nulis ini dapet inspirasi dari temen-temen gue. Mungkin quotenya khusus buat gue sampein ke mereka dan someone.
Nggak yakin bakal ada yang baca juga. Ini blog sepi banget, daripada nggak diapa-apain. Bodo deh :D Maaf typo, bukan penulis -_-



Shouldn’t be Together

Terpikirkan di dalam benakku akan hal itu. Perpisahan yang akan memisahkan aku dengannya. Haruskah aku mengakhiri ini? Atau mengakuinya? Kutekan tombol turn off di remote dan diarahkan ke tv. Lalu melirik Zara yang bersandar di dadaku. Ia tertidur lelap di sini. Wajah cantiknya membuat aku semakin terpesona kepadanya. Sahabat kecilku yang dulu pernah ada di hatiku dan pernah mengatakan kata sayang.

      Ya… begitulah aku dan Zara, pernah menjalin kasih saat kami masih di bangku SMA. Berawal dari keberanianku mengungkapkan perasaan yang selama ini kupendam. Tapi sayang lamanya status persahabatan kami dapat dihancurkan dengan jalan kasih yang kita miliki, selama 7bulan. Dulu kami pernah saling tak menyapa karena kejadian itu. Mau tau siapa yang memutuskan hubungan itu? Tentu saja Zara. Untuk laki-laki sepertiku tidak mungkin berani memutuskan hubungan itu. Hampir dua semester di kelas 2SMA kami tidak menyapa. Bahkan kami seperti orang asing. Perasaan kecewa dalam hatiku sempat membuatku melakukan hal yang tidak ada gunanya. Ehem… terjerat dalam ketergantungan suatu obat dan suntikan.

     Iya itu hubungan kami dulu. Tapi sejak perpisahan SMA yang membuat kita saling menyapa dan berpelukan. Membuat kami saling menjalin hubungan itu lagi. dan dekat sekali.

        Krek! Suara pintu apartement dibuka. Kulihat Lucy melangkah memasuki ruangan ini sambil membawa beberapa belanjaannya. “Justin! Bukannya membantuku? Kau malah asik-asikan bersamanya?” desahnya seraya meletakan belanjaannya di atas meja. Kalimat kerasnya itu jelas membuat Zara membuka kedua bola matanya secara perlahan. Lalu menyadari bahwa ia sudah tertidur di dadaku. “Bisakah kau bicara lebih lembut lagi?” keluhku pada Lucy.

     Perlahan Zara membangunkan tubuhnya dengan wajah lesu. Ia memandangku dan Lucy, “Jadi aku tertidur ya? Maaf-maaf aku tidak sadar.” Ujarnya seraya mengikat rambut panjangnya itu. Dia memang seksi.
      “Padahal kau besok harus kembali bekerja Justin!” teriak Lucy menghampiri kami dan ikut duduk di samping Zara.
      “Setidaknya kau bisa lebih lembut kepadanya kan?” pintaku dengan lembut. Lucy tinggal bersama di apartement yang kami sewa dengan uang kami. Dia anak kerabat Ayahku. Ya bisa disebut teman dekat.
        “Kalau begitu sekarang aku pulang.” ujar Zara beranjak dari duduknya.
        “Biar kuantar.” Tawaranku padanya seraya beranjak dan meraih jacket yang berada di sofa.
        “Kenapa tidak menginap saja Zara?” tawaran Lucy padanya. 
       Zara tersenyum kepadanya lalu berkata, “Biar aku istirahat di rumah saja. Lagi pula aku tidak mungkin menganggu kalian berdua kan?”
        “Hah… Zara! Aku dan dia tidur di kamar yang berbeda.” desahku padanya. 

        *

      Aku mengendarai mobil menuju rumahnya. Di tengah perjalanan yang gelap ini, aku memang merindukan kebersamaan dengannya. Sekarang aku dan Zara semakin dekat, sama seperti saat itu. “Zara…” sapaku padanya.
      “Apa?” jawabnya sambil memperhatikan pemandangan di luar jendela.
      “Tidak apa-apa. Hanya memanggil.” ujarku padanya seraya tersenyum menoleh kepadanya sebentar.
      “Justin?” sapa Zara padaku.
      “Apa Zara?”
     “Hehe… tidak. Kadang jika kita sedang berdua seperti ini. Aku seperti mengingat saat kau dan aku masih berpacaran. Saat kita masih bersama.” ujarnya dengan senyuman malu. Aku takut dia ingin mengulanginya lagi. Yaitu mengatakan kata sayang. Bukan artinya aku tidak mencintainya. Tapi, ada hal yang tidak mungkin dapat menyatukan kita kembali.
     “Kita masih bersama kan?” aku mengulanginya.
    “Ya memang. Kita memang masih bersama. Ah… ok aku akan melupakan itu. Bahwa itu hanya kenangan. Aku khawatir Lucy akan cemburu mendengar hal ini.” ujarnya.

     Aku menghentikan mobil secara perlahan tepat di depan gerbang rumahnya. “Cemburu? Haha Zara. Aku dan Lucy tidak lebih dari kata sahabat. Kita hanya teman. Sama seperti kau dan aku.” balasku padanya.
    “Kau  yakin?” Zara menekankan. Ia menatapku begitu tajam. Perasaanku bergetar saat menatap tatapan itu. Tapi aku selalu berusaha menyembunyikannya. Iya seorang laki-laki memang harus misterius. 
    “Aku sangat yakin. Oia…bagaimana dengan rencanamu akhir weekend ini? Kita jadi ke pantai bersama?” tanyaku dengan wajah dingin.
   Ia tersenyum kepadaku, “Untuk kau. Aku akan luangkan waktu untukmu Justin.” ujarnya sambil membuka pintu mobil. Ia melintas keluar dari mobil dan aku mengikutinya. Kuhampiri ia dan kami saling berhadapan.       “Oia Justin salam untuk Lucy. Maaf tadi aku masih mengantuk jadi agak malas menyapanya.” ucapnya  dengan wajah natural itu.

    Aku tersenyum kepadanya, “Ya akan kusampaikan. Hanya itu?” aku menekankan.
    Ia mengerutkan dahinya, “Memangnya apalagi?”
    “Jadi ini yang kau sebut dengan rindu kebersamaan di masa lalu kita dulu?” ucapku dengan menggoda.
    Ia tertawa kecil mendengar hal itu. Seolah bahwa semua yang kita bicarakan saat di dalam mobil dan saat ini hanyalah candaan saja. “Oh kenapa kau tidak terus terang saja Justin? Kalau kau juga merindukannya? Ok selamat malam. Mimpi indah.” ujarnya dengan lembut.
  “Aku selalu memimpikanmu cantik.” balasku. Ia hanya tersenyum malu mendengar hal itu. “Zara…” sapaku.
  “Apalagi?” ia dengan senyuman manisnya. Ingin sekali aku mengecup bibirnya atau hanya sekedar memeluknya. Jangankan melakukan hal itu. Mengatakan aku mencintainya saja, aku tak berani. Kutarik senyum simpul padanya, “Tidak apa-apa.” jawabku dengan penyesalan.

   Zara menatapku tajam perlahan ia memelukku dengan hangat. “Terimakasih atas hari ini.” ujarnya. Rupanya ia hanya ingin mengatakan terimakasih? “Iya sama-sama.” balasku.
Kini ia melepaskan pelukan itu. Perasaan canggung di antara kami begitu terasa saat ini. “Ok selamat malam Justin.” ujarnya kepadaku dengan malu.
   “Malam juga Zara.” ujarku. Ia melangkah meninggalkanku menuju pintu gerbang rumahnya. “Zara…” panggilku.
    Ia menoleh, “Besok jangan lupa sarapan.” ujarku tersenyum. Lalu ia menganggukan kepalanya seraya membuka pintu gerbang rumahnya.

**

Weekend yang kami tunggu-tunggu. Aku, Zara, dan Lucy, bersama teman-teman kami yang lainnya. Menyempatkan berlibur di pantai. Menghabiskan waktu bersama mereka membuatku melupakan segalanya. Tawa bahagia di antara kita membuat suasana semakin terasa. 

Senja telah tiba aku dan Zara masih duduk bersama di atas pasir yang halus, bersama desiran ombak kecil di sini. Angin yang halus membuat rambutnya bergoyang, dia semakin terlihat mempesona. Aku menebar tatapan pada matanya dengan dalam. Semakin dalam, kami saling bertatap. Tuhan jika kau izinkan aku untuk mengulangi semuanya. Aku tidak akan pernah mau terjatuh pada lubang itu. Yang membuatku dengannya tidak dapat bersama lagi. Aku terdiam menahan butiran air mata yang siap terjun di wajahku ini. Ia menatapku bingung, “Kau kenapa?” ucapnya dengan lembut.

Zara jika aku sanggup aku akan mengecup bibir itu. Aku ingin hidup bersamamu. Tapi apalah dayaku? Kita tidak akan pernah bersama. Aku tidak begitu egois untuk melukaimu. “Justin?” bisiknya lagi.

Senyumku memandangnya seraya memegang pipinya dengan tangan ini. “Aku mencintaimu.” ucapan itu begitu cepat keluar dari mulutku. Ia tersenyum memandang mata ini lalu memelukku dengan erat. Aku bahkan tak sanggup membalas pelukannya. Tapi tangan ini bergerak dengan gemulai memeluknya dengan perasaan sakit di hatiku. “Aku juga…” balasnya membuat jantungku berdetak kencang.

Aku melepaskan pelukannya dan kami kembali saling bertatap. Wajah kami semakin dekat. Jarak yang tak bisa dijelaskan. Bibir ini serasa ingin membalasnya, tapi aku tak bisa. Aku menoleh ke lain arah. Bisa kurasakan kekecewaan dalam dirinya. Aku memejamkan mataku sejenak. Maafkan aku. Aku beranjak berdiri saat itu. Ia beranjak mengikutiku. “Ada apa?” ujarnya kecewa menatapku.
“Maafkan aku Zara.” ujarku tanpa memandang wajahnya.
“Tapi kenapa? Kau bilang kau mencintaiku? Apa aku salah?” ia menyerangku dengan pertanyaan itu. Yang jelas aku tidak bisa menjawab di hadapannya.
“Maafkan aku.” Aku melangkah pergi meninggalkannya dengan rasa sakit dan penyesalan yang begitu besar.

**

Sejak saat itu aku dan Zara kembali tidak saling menyapa. Ini memang menyakitkan. Sepertinya ia memang marah karena hal itu. Kini aku kembali menjalani hari-hari seperti sebelumnya. Aku dan Lucy sedang menonton DVD bersama.
“Kenapa kau melakukan itu?” tanya Lucy padaku.
“Melakukan apa?”
“Meninggalkan Zara? Bukankah kau masih mencintainya? Lagi pula Zara juga mencintaimu kan? Kenapa kau melakukan itu?” desahnya padaku.

Aku menarik nafas dalam-dalam, “Memangnya Zara cerita apa saja denganmu?”
“Tidak banyak. Dia hanya bilang bahwa dia masih sangat mencintaimu sejak lama. Hanya saja dia menunggu kau untuk memulainya. Tapi saat malam itu? Dia bilang kau mengatakan cinta?” tanya Lucy mendesakku.
“Ehem… haruskah aku menjawab?”
“Hey…kau harus menjawabnya! Jelaskan padaku. Kau mengatakan cinta padanya? Tapi kau menolaknya?  Kau meninggalkannya sendirian!”  Lucy memarahiku dengan keras.
“Lucy. Kau ini sahabatku. Seharusnya kau mengerti kenapa aku melakukan hal itu.” ujarku dengan malas.
“Karena kau ingin balas dendam dengannya? Ya ampun Justin? Itu kan hanya masa lalu di SMA.” keluhnya padaku.

“Bukan itu! Aku ketergantungan obat. Dan berkali-kali melakukan hal itu denganmu. Ini bukan masalah tentang hubungan kita.” penjelasanku padanya. Ia mulai serius mendengarkan hal ini. “Terakhir kita melakukan hal itu 2tahun yang lalu. Kau tau setelah itu aku sering bermain dengan wanita lain di club malam? Aku memiliki aids.”

Ia terdiam mendengar hal itu. Dulu kami pernah berhubungan intim tapi sebelum aku tertular Aids dari anak club malam. Sejak saat itu aku dan dia tidak pernah melakukan hal itu lagi. Frustasi sejak SMA membuatku seperti ini. Mencari kebebasan. “Aku tak ingin membuat Zara merasakan ini.” ucapku dengan pelan.
“Ya…aku baru ingat hal itu. Ya ampun…” ia menunduk dan merenungi hal itu.

***

Pada suatu hari aku bertemu Zara di pertokoan, “Hey…” ia menyapaku lebih dulu. Aku memandangnya ragu. “Apakabar Justin?”
“Baik” jawabku singkat.
“Ok sekarang aku mengerti Justin. Kau hanya ingin membalas semuanya. Iya kan? Aku benar-benar tak menyangka bahwa kau masih memikirkan masa lalu itu?” ucapnya dengan penuh kecewa.
“Kalau iya kenapa? Kau sudah menyakiti hatiku saat itu Zara. Lalu sekarang? Apa?”
“Jadi benar?” ia menumbuk tatapan itu. Aku tak yakin akan perasaan ini.
“Aku membencimu. Dan jangan pernah muncul di hadapanku lagi. Karena itu membuat aku semakin muak. Aku membencimu.” desahku membuatnya terdiam menatapku kecewa dengan kilauan dia matanya. “Jangan pernah muncul lagi. Karena aku sudah meniduri perempuan lain. Dan ia sedang hamil.”

PAR! Tamparan keras itu sangat menyiksa batinku. Ia meluncurkan tamparan itu pada wajahku. Rasanya seperti ia sedang mengiris hatiku. Tanganku memegang bagian tepat di mana ia menamparnya. “Kau jahat.” bisiknya padaku.

“Aku menyesal masih mencintaimu Justin! Aku menyesal!” sergahnya menjerit, menangis di hadapanku. Sungguh menyakitkan hatiku. Aku tau dia pasti juga merasakan rasa sakit itu. Tapi apa yang aku lakukan adalah untuk kebahagiaanmu Zara.

**

Beberapa tahun kemudian…

Kadang kita harus melepaskan apa yang seharusnya bisa kita dapatkan. Untuk kebaikan bersama. Itulah yang kulakukan kepada Zara. Pada musim gugur, pernikahan itu terjadi. Zara dan Devian. Tubuhku yang semakin rapuh dan lemas, bibirku yang menjamur dan memucat, tatapan lemasku. Melihat jelas Zara bahagia bersama pria itu. Penyesalan memang selalu datang belakangan. Lucy memegang bahuku dan mengusapnya. Ia bersampingan dengan tunangannya.

“Kau tau ini yang terbaik Justin.” Ucap Lucy kepadaku.
“Yeah…membuat orang lain bahagia. Itulah kebahagiaan yang sesungguhnya.” ujarku seraya ingin meninggalkan mereka.
“Kau mau kemana?” tanya Lucy padaku.
“Kebelakang. Sampaikan salamku padanya…”

*

Di bawah pepohonan aku memandang langit. Merasakan waktu yang akan segera memanggilku. Rela melepasnya untuk kebaikannya. “Justin!” suara Lucy terdengar dari belakang tubuhku. Tapi aku tetap terdiam dan tak menoleh ke belakang. Aku ingin mati lebih cepat. Karena melihat ia bahagia adalah impianku selama ini.  Aku merasakan langkah kaki menghampiriku dari belakang. Mungkin itu Lucy. Tapi kini kudengar suara dengus tangisan di belakangku. Lucy menangis?

“Lucy?” tegurku. Aku menoleh ke belakang dan kulihat wanita memakai gaun pernikahan dan jauh di belakangnya terlihat Lucy dan Devian. Ia menangis di hadapanku bahkan tak menatapku. Wajahnya berlinang air mata. “Zara…” sapaku padanya. Jujur saja aku tak sanggup melihat ini.
“Di mana anak dan isterimu saat ini Justin? Apakabarnya mereka?” tanya Zara menatapku dengan air matanya.

Aku menjawabnya dengan gugup, “Me-mereka…” aku memikirkannya. Tapi Zara berteriak, “Di mana Justin! Di mana!”

Aku terdiam tanpa jawaban. Lalu Lucy menyahut dari sana, “Maafkan aku Justin. Aku menceritakan semuanya pada Zara.”

Seketika aku meneteskan air mataku di wajah ini. “Maaf…” bisikku pelan.
“Aku memang masih mencintaimu sampai saat ini Justin. Dan aku menyesal. Aku sangat menyesal.” Zara menangis berbicara padaku.
“Kenapa kau menyesal?”
“Karena aku telah membiarkanmu sendirian dalam kegelapan itu. Aku yang membuatmu terjatuh pada hal itu! Aku salah. Justin maafkan aku.” Ia menangis seraya memelukku dengan erat tanpa peduli keberadaan Devian di sana.
“Kau tidak perlu minta maaf Zara. Jangan menangis.” ujarku padanya.

Ia masih memelukku dan berkata dengan tangisannya, “ Aku menangis bukan karena aku tak dapat hidup bersamamu Justin. Aku terlalu menyayangimu. Kau menyelamatkanku. Kau tidak egois. Terimakasih atas segalanya. Aku mencintaimu.”

Dengan hikmat aku membalas pelukannya, “Aku juga Zara…” 

Cinta memang  sebuah anugerah yang Tuhan berikan kepada manusia. Tapi apa cinta harus memaksa kita untuk memilikinya? Tentu tidak. Cinta, sesungguhnya ialah yang merelakan cintanya untuk kebahagiaannya kelak. Cinta adalah pengorbanan. Saling mencintai tak berarti kita harus bersama. Karena hakikat cinta adalah merelakan dan membuatmu tabah.

      Selesai....

     "Love each other doesn't mean we should be together."


      Don't copas. Ini bukan cerita bagus, siapa juga yang mau copas? Hahahhaha........



Oia gambar copyrigt dari google :D cuma di edit dikit :D bye...



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Demi Lovato

Demi Lovato
ini gambar editan w n grup w di facebook

Twitter Widget